Kisah ini terjadi sekitar tahun 1997. Kejadian ini dialami oleh Paijo.
Sejak tahun 1994, Paijo sudah menekuni usaha jualan hewan qurban di Jogja bersama dua temannya, Teguh dan Susilo.
Mereka mengambil hewan qurban dari temanggung. Mereka hanya menjual kambing saja karena resikonya lebih kecil daripada sapi.
Selama tiga tahun berturut-turut, usahanya ini lancar-lancar terus. Setiap hari tidak pernah ada hari yang sepi. Dari pagi hingga siang atau sore, ramai, dan kambing yang mereka sediakan banyak yang terjual.
Namun, pada suatu hari, di tahun 1997 tersebut, Paijo merasa aneh. Paijo termenung, dan berpikir mengapa kambing yang mereka bawa sampai menjelang Ashar belum ada yang nyamperin sama sekali. Kejadian seperti ini baru kali ini dia alami.
Paijo pun sendirian ke masjid. Biasanya dia tidak mensegerakan sholat Ashar karena sibuk melayani pembeli, tetapi kali ini lain.
Sehabis menunaikan sholat Ashar, Paijo pun berdoa kepada Allah, "Ya Allah, ampunilah dosa-dosa hamba, Ampunilah dosa-dosa kedua orang tua hamba. Ya Allah, mudahkanlah rejeki hamba dan kawan-kawan.", begitu salah satu bagian doa dari Paijo.
Selesai berdoa, saat Paijo menuju ke tempat jualannya, dia dikejutkan dengan betapa banyaknya orang-orang data berkerumun. Teguh dan Susilo terlihat sangat sibuk melayani pembeli. Paijo pun ikut membatu teman-temannya melayani.
Setelah semua pembeli terlayani, Paijo bersyukur, dia merasa doanya langsung dikabulkan Allah. Kambing tinggal tersisa sedikit.
Tiba-tiba pandangan tertuju pada seorang wanita tua sekitar 50-an tahun, berpakaian agak kumuh berada di sudut agak jauh. Paijo merasa wanita tersebut dari tadi memandangi kambing-kambing yang akan dia jual.
"Guh, kamu lihat wanita itu tidak?", tanya Paijo ke Teguh.
"Iya, kenapa? Dari tadi di situ saja. Hanya lihat-lihat", jawab Teguh.
"Coba deh, Jo, kamu tanyain, siapa tahu dia mau membeli kambing kita", lanjut Teguh.
Paijo agak ragu, apakah wanita tersebut mau membeli kambing. Tetapi dia tetap mendatangi wanita tersebut dan berkata, "Mari bu, pilih kambing kami, masih tersisa beberapa. Ibu tinggal pilih yang mana.", kata Paijo kepada wanita tersebut.
Wanita tersebut pun berjalan mendekati kambing-kambing, dan bertanya "Yang ini berapa mas?". Wanita tersebut menunjuk kambing yang bertubuh paling kecil di antara yang ada.
"Rupanya memang ibu ini uangnya pas-pasan, makanya milih yang paling kecil", batin Paijo.
"Itu 600 bu", jawab Paijo kepada wanita tersebut.
"Bisa kurang ndak? Pasnya saja deh mas ya?", pinta wanita tersebut.
"500 bu. Itu sudah pas.", jawab Paijo.
"Uang saya hanya 450 mas", sahut wanita itu lagi.
"Bentar ya bu", kata Paijo terus menuju ke teman-temannya untuk berembug. Paijo menyampaikan hal ini ke teman-temannya.
"Wah, 450 ya kita dapat apa. Kita rugi dong.", kata Susilo. "Iya sih, tetapi ya buat ngurang-ngurangi beban. Kambing kecil biasanya susah dijual.", sahut Teguh.
Setelah berembug akhirnya mereka memutuskan untuk menjual ke ibunya. "Bu, setelah berembug sama teman-teman, tidak apa deh buat ibu 450, tetapi kami tidak mengantar ya Bu?", kata Paijo.
"Ya mas, nanti saya ditemeni naik andong saja ya. Nanti saya bayar di rumah. Soalnya uang saya di rumah. Nanti becaknya saya yang bayar mas.", sahut wanita tersebut.
"Baik Bu", sahut Paijo.
Bergegaslah Paijo dan wanita tersebut membawa kambing ke rumah wanita tersebut.
Sesampainya di tempat tinggal wanita tersebut, Paijo sungguh terkejut melihat kondisi rumahnya. Rumahnya bukan rumah permanen. Rumah gubuk, dindingnya hanya dari anyaman bambu-bambu. Listrik tidak ada, hanya sebuah lampu minyak di sudut ruangan yang tidak dinyalakan sore itu. Atap rumahnya hanyalah plastik-plastik bekas. Rumah yang ukurannya sangat kecil. Mungkin hanya 3 x 4 meter. Sebuah tempat duduk dari kayu di luar, sepertinya buatan sendiri.
Wanita tersebut tinggal bersama tiga orang anak-anaknya. Suaminya sudah meninggal setahun setelah melahirkan yang paling kecil. Sejak saat itu, wanita tersebut menjadi buruh untuk menghidupi anak-anaknya bertiga.
"Eh, ibu pulang.", teriak salah seorang anak dari dalam rumah. "Bawa kambing lho", lanjutnya.
Tiga anak yang sekitar SMP kelas 3 dan SD kelas 6 dan 4 itu berlarian keluar. Mereka memeluk dan menciumi kambing yang dibawa Paijo.
"Wah, senang ya Dik, ibu-nya beliin kambing", kata Paijo.
"Iya mas", kata yang paling tua, "Ibu sudah sejak lama ingin ber-qurban, akhirnya tercapai juga setelah beberapa tahun menabung. Maklum, ibu hanyalah seorang buruh. Saya kadang juga membantu ibu bekerja kadang menjaga adik-adik yang masih kecil.", jawab anak itu terlihat bahagia dan berkaca-kaca merasakan kenikmatan yang luar biasa.
Wanita yang tadi masu, segera keluar dan membawa uang, "Mas, ini uangnya ya untuk kambingnya", kata ibunya, terus dia mengambil lagi dari dompetnya, "Mas, ini untuk andongnya".
Paijo tidak sempat menerima uang yang untuk andong, dia sudah berkaca-kaca melihat betapa bahagianya mereka bisa berqurban. "Tidak usah Bu, saya bayar saja, saya pamit. Terimakasih ya Bu.", kata Paijo sembari segera ke andong lagi untuk kembali.
"Betapa aku kurang bersyukur selama ini. Mereka yang kondisinya jauh lebih miskin dariku, berusaha dengan susah payah untuk bisa berqurban.", kata Paijo dalam hati.
"Aduh, aku lupa menanyakan siapa nama ibu tadi. Harusnya tadi aku bertanya, tadi adalah seorang wanita yang luar biasa", batin Paijo agak kecewa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan menulis komentar. Tulislah komentar dengan penuh tanggung jawab.