Di setiap perjalanan keluar kota memang memberi kesan tersendiri. Sore itu, menjelang maghrib, aku dalam sebuah perjalanan ke Semarang. Tidak seperti biasanya, kondisi jalan benar-benar macet. Setiap 5 hingga 10 menit baru bisa bergerak 5 meter hingga 10 meter.
Adzan maghrib akhirnya berkumandang. Dalam kondisi macet total, aku pun memainkan gadgetku, entah salah entah benar. Pikirku selama mobil berhenti, aku tidak sedang menyetir. Terserah orang mau bilang apa. Aku memotret kemacetan dan ada yang kuunggah di Facebook.
Kesibukanku memotret serasa makin membosankan. Aku juga berfikir bagaimana sholat maghribnya. Ini pasti lama bergeraknya. Mobil tidak bisa bergerak sama sekali. Aku pun berniat untuk jamak takhir.
Sejenak kutermenung di kemacetan yang sepertinya bakal lebih lama dari 15 menit. Kulihat keluar begitu panjang antrian mobil di depan. Ditambah lagi mobil-mobil yang mendahului lewat sebelah kanan, menambah rumit perjalanan. Mereka bertemu dengan mobil yang berlawanan arah dan terjadi dead lock.
Ini pasti lama pikirku. Aku mulai memikirkan apa yang bisa aku lakukan agar tidak bosan. Aku teringat, di gadgetku terinstal iQuran. Tahun kemarin aku membelinya. Aku putuskan daripada termenung, mending tadarus bentar sembari memperbaiki hafalan quran. Maklum hafalanku masih belum baik. Kadang terbalik antara huruf syin (ش) dengan shod (ص), atau antara tsa (ث) dengan sin (س), atau bahkan antara qaf (ق) dengan kaf (ك).
Aku ketika menjadi makmum sering kadang merasa itu harus dibaca ح, tetapi yang kudengar adalah ه. Aku merasa aku berarti salah hapalanku.
Kubukalah iQuran, jendela pun juga kubuka, agar udara bisa bebas keluar masuk. Aku pilih surat-surat pendek, agar sewaktu-waktu mobil berjalan, aku mudah menghentikan bacaanku.
Setelah memulai beberapa ayat Al-Quran, terdengar sebuah gitar dibunyikan, tidak terlalu bagus sebenarnya untuk didengar. Sepertinya baru belajar main gitar. Kemudian diikutin nyanyian. Nyanyian yang tidak jelas. Aku masih cuwek saja, aku masih melanjutkan hapalanku. Surat yang aku baca memang tidak panjang.
Setelah selesai satu surat, suara gitar dan nyanyian yang sangat fals itu masih terdengar. Ternyata di sampingku, sedikit jauh sih. Terlihat lelaki seusia 25 tahunan, tebakanku, karena aku tidak bertanya ke dia. Pake kaos you can see. Lengannya tatoan, sepertinya ular kobra. Telinga sebelah kanan tindikan, hidungnya pun tidak ketinggalan. Ternyata dia pengamen dan sedang menungguku sepertinya. Mungkin dia tahu apa yang aku lakukan sehingga tidak berani terlalu dekat.
Saat aku melihatnya, dia pun mendekat sembari masih memainkan gitar. "Mas boleh nanya?", kataku yang tumben aku tidak seperti itu biasanya. Biasanya aku langsung ambil receh dan kasih ke orangnya.
"Ya mas", jawabnya langsung menghentikan permainan gitarnya dan nyanyiannya.
"Masnya umur berapa? Kenapa mengamen?", tanyaku ingin tahu.
Tiba-tiba wajah yang tersenyum itu berubah memerah. Sepertinya pertanyaanku menyinggunnya. Aku hanya ingin tahu saja mengapa dia mengamen. Tetapi sepertinya aku salah ucap. Aku tidak bermaksud untuk membuatnya tersinggung.
"As*!", teriaknya mengejutkanku. Sebuah kata yang sangat tidak enak didengar. "Rasah sok-sokan s*, ketoke ngaji, pelite pol tur kakean cangkem! Rasah sok!", lanjutnya sembari meludah di samping mobilku dan pergi meninggalkanku.
Aduh, aku sepertinya telah menyakiti hatinya. Semoga Allah mengampuniku. Aku tidak bermaksud begitu. Ingin tahu saja. Siapa tahu bisa membantu lebih pikirku waktu itu. Ya sudahlah, mungkin aku juga salah. Ngapain juga tadarus di saat macet. Harusnya berhenti sekalian di sebuah surau. Mungkin, wallahua'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan menulis komentar. Tulislah komentar dengan penuh tanggung jawab.