"Selamat pagi semua!", sebuah kalimat pembuka dalam suatu acara motivation training malam itu diucapkan seorang trainer di depan podium. "Apa kabar?", sebuah pertanyaan berikutnya dilontarkan oleh sang motivator dan dijawab dengan antusias oleh para peserta.
Ya, sebuah acara yang diselenggarakan malam hari, namun selalu bersemangat seperti di pagi hari seakan setiap waktu itu selalu pagi dan malam yang larut pun dianggapnya sebagai pagi hari. Semangat kerja yang tidak mengenal waktu.
Motivator pun memulai aksinya. Tujuannya adalah memotivasi para peserta bagaimana mengejar mimpi. Mimpi mendapatkan penghasilan yang besar. Mimpi untuk menjadi kaya. Sajian statistika perbandingan penghasilan pun muncul. Bagaimana para peserta bisa mendapatkan gaji minimal seratus juta rupiah perbulan hanya dalam kurun waktu maksimal lima tahun.
Sang motivator pun mulai membuka beberapa contoh yang memiliki penghasilan bulanan besar, bahkan ada yang bulanannya mencapai miliar. Tepuk tangan pun luar biasa seakan iming-iming uang yang membuat mereka bahagia kelak.
Sebuah kalimat yang selalu disampaikan hampir dalam setiap aksi motivasi yaitu, "Lahir miskin bukan salah Anda, tetapi mati miskin itu salah Anda". Sebuah kalimat yang sangat bertolak belakang dengan doa Rasulullah SAW:
اللَّهُمَّ أَحْيِنِي مِسْكِينًا ، وَأَمِتْنِي مِسْكِينًا ، وَاحْشُرْنِي فِي زُمْرَةِ الْمَسَاكِينِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
"Ya Allah ! Hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, dan matikanlah aku dalam keadaan miskin, dan kumpulkanlah aku (pada hari kiamat) dalam rombongan orang-orang miskin".
Hampir setiap aksi motivasi selalu memotivasi dengan ukuran materi, ukuran dunia, uang, uang dan uang. Motivasi ini perlahan ternyata membentuk karakter orang menjadikan uang adalah segala-galanya. Tidak akan bisa hidup tanpa uang dan secara tidak sadar telah menuhankan uang.
Allah menilai segala yang dilakukan oleh seseorang itu dari niatnya. Penulis pernah menuliskan artikel tentang ikhlas bahwa di sana banyak dikisahkan orang-orang yang sepertinya berjuang di jalan Allah namun ternyata karena niatnya melenceng menjadikan mereka celaka.
Sepulang dari acara motivasi, para peserta banyak yang memperbincangkan tentang masa depan mereka. Mereka bercerita tentang mobil mewah, rumah megah, berjalan-jalan ke luar negeri. Semua bersifat duniawi, begitu besarnya mereka cinta dunia.
Dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu beliau berkata: Kami mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ كانت الدنيا هَمَّهُ فَرَّق الله عليه أمرَهُ وجَعَلَ فَقْرَهُ بين عينيه ولم يَأْتِه من الدنيا إلا ما كُتِبَ له، ومن كانت الآخرةُ نِيَّتَهُ جَمَعَ اللهُ له أَمْرَهُ وجَعَلَ غِناه في قَلْبِه وأَتَتْهُ الدنيا وهِيَ راغِمَةٌ
"Barangsiapa yang (menjadikan) dunia tujuan utamanya maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya dan menjadikan kemiskinan/tidak pernah merasa cukup (selalu ada) di hadapannya, padahal dia tidak akan mendapatkan (harta benda) duniawi melebihi dari apa yang Allah tetapkan baginya. Dan barangsiapa yang (menjadikan) akhirat niat (tujuan utama)nya maka Allah akan menghimpunkan urusannya, menjadikan kekayaan/selalu merasa cukup (ada) dalam hatinya, dan (harta benda) duniawi datang kepadanya dalam keadaan rendah (tidak bernilai di hadapannya)".
Hadits ini menunjukkan keutamaan cinta kepada akhirat dan zuhud dalam kehidupan dunia, serta celaan dan ancaman besar bagi orang yang terlalu berambisi mengejar harta benda duniawi.
Jadi, bukan masalah kerja kerasnya, tetapi semangat yang harus diubah. Ketika semangat itu diubah, kita tidak lagi tergiur dengan mobil mewah, rumah megah dan jalan-jalan ke luar negeri.
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata, "Orang yang mencintai dunia (secara berlebihan) tidak akan lepas dari tiga (macam penderitaan): Kekalutan (pikiran) yang selalu menyertainya, kepayahan yang tiada henti, dan penyesalan yang tiada berakhir."
Hal ini dikarenakan orang yang mencintai dunia (secara berlebihan) jika telah mendapatkan sebagian dari (harta benda) duniawi maka nafsunya (tidak pernah puas dan) terus berambisi mengejar yang lebih daripada itu, sebagaimana dalam hadits yang shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya seorang manusia memiliki dua lembah (yang berisi) harta (emas) maka dia pasti (berambisi) mencari lembah harta yang ketiga".
Kekayaan yang hakiki adalah kekakayaan dalam hati/jiwa. Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya harta benda, tetapi kekayaan (yang hakiki) adalah kekayaan (dalam) jiwa".
Kebahagiaan hidup dan keberuntungan di dunia dan akhirat hanyalah bagi orang yang cinta kepada Allah dan hari akhirat, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Sungguh sangat beruntung seorang yang masuk Islam, kemudian mendapatkan rizki yang secukupnya dan Allah menganugrahkan kepadanya sifat qana’ah (merasa cukup dan puas) dengan rezki yang Allah Ta’ala berikan kepadanya".
Sifat yang mulia ini dimiliki dengan sempurna oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan inilah yang menjadikan mereka lebih utama dan mulia di sisi Allah Ta’ala dibandingkan generasi yang datang setelah mereka.
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, "Kalian lebih banyak berpuasa, (mengerjakan) shalat, dan lebih bersungguh-sungguh (dalam beribadah) dibandingkan para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tapi mereka lebih baik (lebih utama di sisi Allah Ta’ala) daripada kalian".
Ada yang bertanya: Kenapa (bisa demikian), wahai Abu Abdirrahman? Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Karena mereka lebih zuhud dalam (kehidupan) dunia dan lebih cinta kepada akhirat”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan menulis komentar. Tulislah komentar dengan penuh tanggung jawab.